Pengetahuan Gizi

Buang Air Besar:
Musuh atau Teman Diet?

Salah satu diet yang sedang viral sempat memicu kontroversi mengenai BAB di kalangan umum.

Nah, kali ini Gizigo akan membahas apakah proses buang air besar itu dan bagaimana posisinya di kesehatan kita.

Kontributor

Rania Aisyah Herima

Rania adalah intern Gizigo 2021 dari Jurusan Gizi Kesehatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
 
Rania bisa dihubungi di sini.
 

Pencernaan makanan pasti menghasilkan limbah, baik itu terdiri dari sisa metabolisme yang tidak untuk dicerna, maupun bakteri yang terkandung dalam makanan.

Seperti limbah pada umumnya, limbah pencernaan juga harus secara rutin dibuang. Apabila pembuangannya terganggu, tentu akan mengganggu kesehatan keseluruhan.

Maka dari itu, proses defekasi adalah proses yang tanpa kita sadari terus berjalan.

Apa Itu BAB atau Buang Air Besar?

Buang air besar, BAB, atau defekasi adalah istilah untuk mekanisme tubuh, khususnya sistem pencernaan kita, saat mengeluarkan feses. Kegiatan defekasi ini merupakan salah satu mekanisme hebat dalam tubuh kita karena koordinasinya terintegrasi dari sistem pencernaan, sistem saraf, dan sistem musculoskeletal (Bassotti & Villanacci, 2013).

Defekasi erat kaitannya dengan makanan yang kita konsumsi. Selain mengandung zat gizi, makanan juga mengandung bakteri. Berikut ini adalah komposisi dari feses yang kita hasilkan:

  1. Air (75%)
  2. Bakteri, baik dalam keadaan hidup maupun mati (25-54%) (Mawer & Alhawaj, 2020).
  3. Sisanya adalah zat gizi yang tidak bisa dicerna. Misalnya seperti serat pangan dari buah dan sayur, selulosa dari sayuran, sisa metabolisme seperti stercobilin, protein dari diet, asam nukleat, protein dari bakteri, dan sel-sel mukosa usus yang lepas, mineral Na, k, Mg, Ca, dan Zn, dan masih banyak lagi (Rose, et al., 2015).

Frekuensi Buang Air Besar yang Normal

Dalam satu hari biasanya 1-3 kali (Mawer & Alhawaj, 2020). Untuk anak-anak normalnya 4-9 kali setiap minggu (Palit, et al., 2012).

Namun, penting untuk diingat bahwa standar “normal” frekuensi defekasi setiap orang itu berbeda-beda sehingga masing-masing individu dapat menyadari apabila frekuensi mulai berubah menjadi lebih sering atau lebih jarang dari biasanya.

Perubahan frekuensi BAB atau defekasi umumnya merupakan gejala bagi kelainan berikut:

  1. Diare, yaitu peningkatan frekuensi, kecairan, atau volume feses (Sweetser, 2012).
  2. Konstipasi, yaitu penurunan frekuensi, umumnya hingga kurang dari 3 kali per minggu. Penurunan frekuensi ini diikuti oleh pengerasan feses dan usaha semakin besar dalam mengeluarkannya (Jamshed, et al., 2011).
  3. Inkontinensia fekal, yaitu ketidakmampuan dalam mengontrol pengeluaran BAB, umumnya terjadi pada lanjut usia (Alavi, et al., 2015).

Apa yang Akan Terjadi Jika Kita Tidak BAB?

Impaksi fekal adalah istilah untuk feses yang sudah terbentuk, tetapi tidak dibuang secara spontan.

Feses merupakan hasil limbah dari pencernaan, maka terhambatnya pembersihan limbah tentu akan menyebabkan gangguan kesehatan, khususnya bagi sistem pencernaan itu sendiri.

Berikut ini adalah dampak yang dapat terjadi jika impaksi fekal terjadi dalam waktu yang lama:

  1. Penyakit Irritated Bowel Syndrome (IBS), yaitu kelainan fungsional usus kronis ditandai dengan rasa tidak nyaman hingga nyeri di area perut, kembung, distensi (kencang, kaku), gangguan frekuensi BAB dan perubahan bentuk feses dalam 3 bulan (Jacobus, 2014).
  2. Pertumbuhan bakteri berlebihan di usus halus disebabkan oleh penumpukan feses di kolon yang berpotensi bermigrasi ke ileum (Raahave, 2015). Kontaminasi bakteri dari feses yang menumpuk juga berpotensi menyerang usus buntu atau disebut juga appendix sehingga terjadi iritasi (appendicitis).
  3. Kanker kolon apabila konstipasi terjadi dalam jangka panjang (Obokhare, 2012).

Bagaimana Caranya Menjaga Frekuensi BAB supaya Tetap Rutin?

Melihat betapa pentingnya BAB atau defekasi dalam hidup kita, maka kita harus menjaga rutinitas BAB kita.

Salah satu caranya adalah dengan sering memakan sayur dan buah yang tinggi serat pangan. Selain itu minumlah air putih minimal 2 liter sehari. Kedua kebiasaan tersebut sesuai Pedoman Gizi Seimbang.

Pada umumnya semua jenis sayuran, buah, dan polong-polongan baik untuk kesehatan pencernaan (Li & Komarek, 2017).

Namun, menurut sebuah penelitian oleh Lattimer dan Haub (2010), terdapat beberapa jenis sayuran dan buah-buahan yang memiliki serat pangan spesifik.

Apa sajakah itu? Let’s check it out.

  1. Sayuran hijau seperti dedaunan tinggi akan serat pangan jenis selulosa.
  2. Jagung dan kentang tinggi serat pangan jenis pati resisten
  3. Buah-buahan citrus seperti jeruk dan lemon memiliki kandungan pektin yang tinggi

Sebuah tips penting untuk menjaga kandungan serat pangan dalam sayuran dan buah-buahan adalah dengan menjaga kerenyahan tekstur mereka, contohnya dengan tidak overcook sayuran dan memakan buah segar untuk mencapai daya cerna serat yang optimal (Capuano, 2017).

Anda juga dapat mempercayakan diet Anda kepada ahli gizi terpercaya di Gizigo melalui layanan konsultasi ahli gizi Surabaya atau catering sehat kami untuk mendapatkan pengaturan diet sesuai kaidah gizi seimbang.

Referensi
  1. Alavi K, Chan S, Wise P, Kaiser AM, Sudan R, Bordeianou L. (2015). Fecal Incontinence: Etiology, Diagnosis, and Management. J Gastrointest Surg. 2015 Oct;19(10):1910-21. PMID: 26268955.
  2. Bassotti, G., Villanacci, V. (2013). The control of defecation in humans: an evolutionary advantage? Tech Coloproctol (2013) 17:623–624.
  3. Capuano, E. (2017). The behavior of dietary fiber in the gastrointestinal tract determines its physiological effect. Critical Reviews in Food Science and Nutrition, 57:16, 3543-3564.
  4. Jamshed, N., Lee, Z., Olden., K. (2011). Diagnostic Approach to Chronic Constipation in Adults. Am Fam Physician. 2011 Aug 1;84(3):299-306.
  5. Lattimer, J. M., & Haub, M. D. (2010). Effects of dietary fiber and its components on metabolic health. Nutrients, 2(12), 1266–1289.
  6. Mawer S, Alhawaj AF. Physiology, Defecation. [Updated 2020 Sep 13]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
  7. Obokhare I. (2012). Fecal impaction: a cause for concern? Clinics in colon and rectal surgery, 25(1), 53–58.
  8. Palit S, Lunniss PJ, Scott SM. The Physiology of Human Defecation. (2012). Digestive Diseases and Sciences (2012) 57:1445–1464.
  9. Rose, C., Parker, A., Jefferson, B., & Cartmell, E. (2015). The Characterization of Feces and Urine: A Review of the Literature to Inform Advanced Treatment Technology. Critical reviews in environmental science and technology, 45(17), 1827–1879.
  10. Sweetser S. (2012). Evaluating the patient with diarrhea: a case-based approach. Mayo Clinic proceedings, 87(6), 596–602.